Berbagi info menarik dan terbaru

Powered by Blogger.

Makalah Syiah Mu'tazilah Murji'ah Khawarij


PEMBAHASAN
2.1.1 SYIAH/SYI’AH

Syi’ah ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Secara umum, Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Syi'ah Zaidiyyah, termasuk Syi'ah yang tidak menolak kepemimpinan tiga Khalifah sebelum Khalifah Ali bin Abu Thalib. Syi'ah adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamak-nya adalah "Syiya'an". Syī`ī menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Secara garis besarnya, sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.

2.1.2 ASAL USUL SYI’AH

SYI’AH secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan. Sedangkan dalam istilah Syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang dikomandoi oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi dari Yaman. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, lalu Abdullah bin Saba’ mengintrodusir ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena suatu nash (teks) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut.
Keyakinan itu berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil tindakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian mereka melarikan diri ke Madain.
Aliran Syi’ah pada abad pertama hijriyah belum merupakan aliran yang solid sebagai trend yang mempunyai berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke-2 Hijriyah dan abad-abad berikutnya.

2.1.3 POKOK-POKOK PENYIMPANGAN SYI’AH

A. Pokok-Pokok Penyimpangan Syi’ah Secara Umum :

1. Pada Rukun Iman :
Syi’ah hanya memiliki 5 rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Kitab Allah, Rasul dan Qadha dan Qadar, yaitu :
1. Tauhid (keesaan Allah),
2. Al-’Adl (keadilan Allah)
3. Nubuwwah (kenabian),
4. Imamah (kepemimpinan Imam),
5. Ma’ad (hari kebangkitan dan pembalasan).
(Lihat ‘Aqa’idul Imamiyah oleh Muhammad Ridha Mudhoffar dll).

2. Pada Rukum Islam :
Syi’ah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam, yaitu :
1.Shalat,
2.Zakat,
3.Puasa,
4.Haji,
5.Wilayah (perwalian) (lihat Al-Kafie juz II hal 18)

3. Syi’ah meyakini bahwa Al-Qur’an sekarang ini telah dirubah,
ditambahi atau dikurangi dari yang seharusnya, seperti :
وَ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا فِي عَلِيٍّ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ (الكافي ج 1 ص 417.)
“wa inkuntum fii roibim mimma nazzalna ‘ala ‘abdina FII ‘ALIYYIN fa`tu bi shuratim mim mits lih ” (Al-Kafie, Kitabul Hujjah: I/417)
Ada tambahan “fii ‘Aliyyin” dari teks asli Al-Qur’an yang berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ [البقرة/23]
“wa inkuntum fii roibim mimma nazzalna ‘ala ‘abdina fa`tu bi shuratim mim mits lih” (Al-Baqarah:23)
Karena itu mereka meyakini bahwa : Abu Abdillah a.s (imam Syi’ah) berkata: “Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 17.000 ayat (Al-Kafi fil Ushul Juz II hal.634). Al-Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi’ah Al-Kafi fil Ushul juz I hal 240-241 dan Fashlul Khithab karangan An-Nuri Ath-Thibrisy).

4. Syi’ah meyakini bahwa para Sahabat sepeninggal Nabi
hallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka murtad, kecuali beberapa orang saja, seperti: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisy (Ar Raudhah minal Kafi juz VIII hal.245, Al-Ushul minal Kafi juz II hal 244).

5. Syi’ah menggunakan senjata “taqiyyah” yaitu berbohong,
dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk mengelabui (Al Kafi fil Ushul Juz II hal.217).

6. Syi’ah percaya kepada Ar-Raj’ah yaitu kembalinya roh-roh
ke jasadnya masing-masing di dunia ini sebelum Qiamat dikala imam Ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam kepada lawan-lawannya.


7. Syi’ah percaya kepada Al-Bada’, yakni tampak bagi Allah
dalam hal keimaman Ismail (yang telah dinobatkan keimamannya oleh ayahnya, Ja’far As-Shadiq, tetapi kemudian meninggal disaat ayahnya masih hidup) yang tadinya tidak tampak. Jadi bagi mereka, Allah boleh khilaf, tetapi Imam mereka tetap maksum (terjaga).

8. Syi’ah membolehkan “nikah mut’ah”, yaitu nikah kontrak
dengan jangka waktu tertentu (lihat Tafsir Minhajus Shadiqin Juz II hal.493). Padahal hal itu telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sendiri. [petunjukjalanislam]

2.1.4 TOKOH-TOKOH SYI’AH
Tokoh-tokoh Syi'ah         
     1          Nashr bin Muzahim   
     2          Ahmad bin Muhammad bin Isa Al-Asy'ari   
     3          Ahmad bin Abi Abdillah Al-Barqi   
     4          Ibrahim bin Hilal Ats-Tsaqafi           
     5          Muhammad bin Hasan bin Furukh Ash-Shaffar       
     6          Muhammad bin Mas’ud Al-‘Ayasyi As-Samarqandi           
     7          Ali bin Babawaeh Al-Qomi  
     8          Syaikhul Masyayikh, Muhammad Al-Kulaini          
     9          Ibnu ‘Aqil Al-‘Ummani        
     10        Muhammad bin Hamam Al-Iskafi    
     11        Muhammad bin Umar Al-Kasyi       
     12        Ibn Qawlawaeh Al-Qomi     
     13        Abu Ghalib Az-Zurari           
     14        Ra`îsul Muhadditsîn, Syeikh Shaduq           
     15        Ibnu Junaid Al-Iskafi
     16        Sayid Radhi  
     17        Syaikh Mufid
     18        Sayid Murtadha Alamulhuda
     19        Syeikh Abu Shalah Al-Halabi           
     20        Ahmad bin Ali An-Najasyi

2.1.5 SISI PERBEDAAN POKOK ANTARA AQIDAH AHLUS SUNNAH   
      DAN SYI’AH,
1.      NAMA DAN SEJARAH LAHIR

AHLUS SUNNAH
S Y I ’A H / RAFIDHAH
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah didirikan oleh Rosulullah_, dinamalan dengan Ahlus Sunnah karena pengikutnya senantiasa berpegang teguh kepada Sunnah Rosulullah, dan dinamakan juga dengan Al Jama’ah karena pengikutnya adalah merupakan mayoritas
pemeluk Islam yang bersatu dalam kebenaran dan tidak berpecah belah di dalamnya, mereka senantiasa mengikiuti konsep para pemimpin kebenaran dan tidak pernah menyelisihi mereka dalam satu perkarapun dalam masalah aqidah. (Al Mausu’ah Al Muyassaroh Fil
Adyan wal Madzahib wal Ahzab Al Mu’ashiroh, DR. Mani’
Al Juhani 1/40)
 “…dan ummatku akan terpecah menjadi 73 ajaran /kelompok, semuanya dalam Neraka kecuali satu ajaran/kelmpok.” Para sahabat bertanya: “Siapakah kelompok itu wahai Rosulullah?” beliau menjawab:
“Kelompok yang aku dan para sahabatku anut.” (HR.
Tirmidzi dan dihasankan oleh Syekh Al Albani).
Syi’ah artinya Kelompok. Artinya kelompok yang mengaku mengikuti Ali bin Abi Thalib, padahal sesungguhnya mereka tidak mengikutinya dengan sebenarnya. Syi’ah lahir kepermukaan ketika seorang yahudi bernama
Abdullah bin Saba’ hadir dengan mengaku sebagai seorang muslim, mencintai Ahlul Bait (keluarga nabi), berlebih-lebihan di dalam menyanjung Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dan mendakwakan adanya wasiat baginya tentang kekhalifahannya, yang pada akhirnya ia mengangkatnya sampai ke tingkat ketuhanan.
Sa’ad Abdullah Al-Qummi pengarang buku Al-Maqalaat wal firaq mengaku dan menetapkan akan adanya Abdullah bin Saba’ ini, dan menganggapnya orang yang pertama kali menobatkan keimaman (kepemimpinan) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu serta munculnya kembali (di hari akhirat nanti) di samping
ia juga termasuk orang yang pertama mencela Abu Bakar, Umar, Ustman dan sahabat-sahabat yang lainnya (Al-Maqaalat Wal Firaq, Al-Qummi hal : 10-21)
• Begitu juga An-Naubakhti dalam bukunya Firaqus syi’ah hal : 19-20, dan Al-
Kusysyi dalam bukunya yang terkenal Rijalul-Kusysyi hal : 170-171.
• Dan bahkan di antara ulama kontemporer mereka; Muhammad Husein Al Zain berkata: “Apapun kenyataannya, sesungguhnya pria ini, maksudnya Ibnu Saba’ adalah nyata di alam wujud, dialah yang menampakkan pengkultusan, sekalipun sebagian Syi’ah mengingkarinya dan menganggapnya sebagai tokoh yang fiktif…adapun kami; menurut penelitian terakhir yang tidak kita ragukan lagi, bahwa ia memang ada dan begitu pula pengkultusannya.” (Asy Syi’ah fit Tarikh, hal: 213)

2.      KETUHANAN
AHLUS SUNNAH
S Y I ’A H / RAFIDHAH
TUHAN : Allah _, Robbul ‘Aalamin, Dialah Pencipta,
Pemilik, dan Pengatur alam.
TUHAN: ???? Mungkin PARA IMAM 12 mereka


3.      KITAB SUCI
AHLUS SUNNAH
S Y I ’A H / RAFIDHAH
AL-QUR’ANUL KARIM yang dijamin keasliannya,
tidak ada perubahan, penambahan atau pengurangan di
dalamnya.

AL-QUR’AN MISTERIUS, karena Al Qur’an yang ada telah berubah.



4.      KENABIAN
AHLUS SUNNAH
S Y I ’A H / RAFIDHAH
NABI: Muhammad _, beliau telah menyempaikan
risalah Islam dengan sempurna
NABI: Muhammad _, namun beliau tidak berhasil dalam menegakkan Agama

5.      RUKUN ISLAM
AHLUS SUNNAH
S Y I ’A H / RAFIDHAH
RUKUN ISLAM
“Islam dibangun di atas lima perkara;
Syahadat bahwa tidak adal ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan shaum ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
RUKUN ISLAM
• Al Kulaini telah meriwatkan di dalam bukunya Al Kafi 2/15 dan Kitabul Iman
Wal Kufr Bab Da’aimul Islam. Dia telah meriwayatkan dengan sanadnya
kepada Abu Ja’far AS, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:
Shalat, Zakat, Shaum, Haji dan Al Wilayah (Kepemimpinan)..”
• Al Kulaini pun telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’afar AS
bahwa Islam dibangun di atas lima perkara: Shalat, Zakat, Shaum, Haji dan Al
Wilayah (Kepemimpinan), Zuroroh berkata: maka aku katakan: Apakah di
antara itu semua yang paling Afdhal ? belaiu menjawab: Al Wilayah adalah
yang paling afdhal, kerena ia adalah kuncinya…”

6.      IMAMAH/KEPEMIMPINAN
AHLUS SUNNAH
S Y I ’A H / RAFIDHAH
Imamah menurt Ahlus Sunnah
Kepemimpinan setelah Rosulullah adalah Al Khulafa’ur ; Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab Al Faruq, Usman bin Affan Dzun Nurain dan Abus Sibthain Ali bin Abi Thalib, kemudian kepemimpinan berlanjut ke kepemimpinan Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib kemudian pindah ke Dinasti Bani Umayyah dan setelah itu Bani Abbasiyah dst…Mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum dari kesalahan dan dosa, tidak memiliki unsurunsur ketuhanan.
“Aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun yang memerintahkan kalian itu seorang budak dari bangsa Habasyah Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup (setelahku nanti) maka ia akan mendapati perselisihan yang banyak: jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena perkara yang diada-adakan itu adalah sesat. Maka barang siapa di antara kalian yang mengalaminya, hendaklah ia berpegang teguh kepada sunnhku dan sunnah Al Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku, gigitlah keduanya dengan gigi gerahammu.” (HR. Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
(HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syekh Al Albani)
Imamah menurut Syi’ah






7.      AHLUL BAIT (KELUARGA NABI)
AHLUS SUNNAH
S Y I ’A H / RAFIDHAH
Ahlul Bait adalah keluarga Ali, keluarga Aqil keluarga Ja’far dan keluarga Abbas, dan tidak diragukan pula bahwa istri-istri Rosulullah _ adalah dari keluarga beliau.

Ahlul Bait adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Adapun Istri-istri
nabi, maka mereka tidak termasuk ke dalamnya. Ahlul Bait adalah orangorang
yang maksum dari kesalahan dan dosa.







2.2 Mu’tazilah
2.2.1 Pengertian Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri. Dalam Al-Qur’an, kata-kata ini diulang sebanyak  sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’âd ‘ani al syai-i (menjauhi sesuatu) seperti dalam ayat:

فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَ ْلقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ
اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلاً
Artinya:

“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka.” (QS. An-Nisa’: 90)

Sedang secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.

Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir

Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:

Golongan pertama disebut Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.
Golongan kedua disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian, antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan kedua ini terdapat beberapa versi, di antaranya:

1. Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.

2.  Versi Al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin Atha’ dan temannya, Amr bin Ubaid, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian di antara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.

3. Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.

Ketika pertama kali muncul, aliran Mu’tazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Mu’tazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).

Kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika Al-Qur’an dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik.

Pada umumnya ulama berpendapat bahwa tokoh utama Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Atha’. Ia adalah seorang peserta dalam forum ilmiah Hasan Al-Basri. Dalam forum ini muncul masalah yang hangat pada waktu itu, yaitu masalah pelaku dosa besar. Wasil berkata dalam menentang pendapat Hasan.

Kami juga berpendapat bahwa madzhab ini sudah ada lebih dahulu sebelum kisah washil, walaupun banyak ahlu bait yang menempuh pola pikir yang sama dengannya, seperti Zaid Ibn Ali yang merupakan teman dekat washil. Washil sendiri adalah salah seorang penyiar paham iniyang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang dialah tokoh utamanya.
Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mu’tazilah karena mereka terdiri dari orang–orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya, dan menolak hidup bersenag-senang. Kata Mu’tazilah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat itu adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia. Sebenarnya tidak semua penganut paham ini seperti itu, tetapi sebagiannya bertaqwa dan ada pula yang dituduh melakukan pekerjaan–pekerjaan maksiat, banyak yang baik dan ada pula yang jahat.

 Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu:
1.    Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
2.    Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H).Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke-2 dan ke-3. Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang tereang-terangan menganut aliran ini dan mendukunhnya adalah Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
3.     Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)

4.     Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
5.    Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)

2.2.2.   Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar mu’tazilah yang tertuang dalam Al-ushul al-khamsah adalah at-tauhid (pengesaan tuhan), al-adl (keadilan tuhan), al-waad wa al-wa’id (janji dan ancaman tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy an al-mungkar (menyerukan kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).
At-Tauhid

At-tauhid (pengesaan tuhan), merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaeseaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[10] Untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani  mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan”[11]. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.

Apa yang disebut dengan sifat menurut mu’tazilah adalah dzat tuhan itu sendiri. Abu Hudzail, sebagaimana di kutip oleh Musthafa Muhammad, berkata “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan berkuasa dengan kekuasaannya, dan kekuasaan itu adalah tuhan itu sendiri”.[12] Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan tuhan adalah tuhan itu sendiri, yaitu dzat dan esensi tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzatnya.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-qur’an itu baru (diciptakan), Al-qur’an adalah manifestasi dari kalam tuhan, Al-qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan antara Al-jubba’I dengan Abu Hasyim  adalah pernyataan bahwa “tuhan mengetahui dengan esensinya”. Menurut al-Jubba’i, arti pernyataan tersebut adalah untuk mengetahui bahwa tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut abu hasyim, pernyataan tersebut berarti tuhan memliki keadaan mengetahui, sungguhpun demikian, mereka sepakat bahwa tuhan tidak memilikki sifat.[13]

Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu al-Hudzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles.[14] Agaknya beralasan, bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut faham keadilan dan keesaan tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkannya benar-bemar adil.

 Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai tuhan. Begitu pula sebaliknya, tuhan tidaklah sama dengan makhluknya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itut tidak layak baginya setiap atribut materi. Segala mengesankan adanya kejisiman tuhan, bagi mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha suci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan nya. Tegasnya, mu’tazil antropomorfisme.[15]
Penolakan terhadap faham antropomorfostik bukan semata-mata atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:
 لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”(QS. Asy syuraa 42:11)
Memang tidak dapat dibantah bahwa mu’tazilah sebagaimana aliran lain , telah terkena pengaruh filsafat yunani, namun hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut buta hellenisme. Usaha keras mereka yang telah menghabiskan banyak waktu dan energi benar-benar membuahkan hasil. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran hellenistik yang telah mereka pelajari, dijadikan senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya,yakni para muhadditsin rafidah manichscanisme, dan berbagai aliran keagamaan yang lain di India.[16
 Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman tuhan. Mereka mamalingkan arti kata-kata tersebut pada arti kata yang lain, sehingga hilanglah kejisiman tuhan. Tentu saja pemindahan ini dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini, misalnya kata-kata tangan (Q.S shad 38:75) diartikan “kekuasaan”. Pada konteks yang lain (Q.S. al-Maidah 5:64) di artikan “nikmat”. Kata wajah ((Q.S. ar-Rahman 55:27) diartikan “esensi” dan “dzat”, sedangkan al-asyri ((Q.S. Thaha 20:5) diartikan “kekuasaan”.[17]

Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropomorfisme. Tuhan adalah immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Adapun yang dapat dilihat hanyalah yang berbentuk dan yang memiliki ruang saja. Andaikan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akherat, tentu diduniapin dia dapat dilihat oleh mata kepala.[18] Oleh karena itu,melihat (Q.S. al-Qiyamah 75:22-23) di takwilkan dengan “mengetahui”
    Al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl yang berarti “tuhan maha adil”. Adil ini merupakan sifat yang paling gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena tuhan maha sempurna, di sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, kerena diciptakannya alam semesta ini sesungguhnya untuk kepentingan manusia. Tuhan dikatakan adil jika bertindak hanya yang baik (ash-saleh) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula tuhan itu dipandang adil jika tidak menyalahi/ melanggar janjinya.[19] Dengan demikian, tuhan terikat oleh janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain:
·         Perbuatan manusia
manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan tuhan, baik secara langsung atau tidak.[20] Manusia benar-benar bebas menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.

·         Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shslah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan yang terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin berbuat jahat dan aniaya karena akan membuat kesan bahwa tuhan itu penjahat dan penganiaya, dan itu sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada sesorang, dan berbuat baik kepada yang lain, berarti tuhan tidak adil. Dengan sendirinya, tuhan juga tidak maha sempurna.[21] Bahkan menurut An-Nazam, salah satu tokoh mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat jahat.[22] Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila tuhan tidak bertindak seperti itu berarti dia tidak bijaksana, pelit dan kasar/kejam.[23]
 
·         Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan, karena alasan-alasan berikut ini :
 Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S asy-syuro 26:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutus rasul
    Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut berhasil, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mengutus rasul.[24]
 Al-Wa’d Wa Al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janjin dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala berupa surga bagi orang yang mau berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk member pengampunan bagi yang mau bertobat nashuha, pasti benar adanya.[25]

Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan pula dan juga sebaliknya, siapa yang berbuat jahat akan dibalas denga siksa yang pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi tuhan, selain menuaikan janjinya. Yaitu memberi pahala bagi orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, kecuali bagi yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk kedalam neraka ,merupakan dosa besar, sedangkan bagi dosa kecil, mungkin Allah mengampuninya.[26] Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong menusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa
 Manzilah Bain Al-Manzilataini
Inilah ajaran yang mula-mula melahirkannya aliran Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti yang tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai orang musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosanya sepenuhnya diserahkan sepenuhnya pada tuhan. Boleh jadi dosa itu diampuni tuhan. Adapun pendapat wasil bin ata’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran ini, wasil bin ata’ dan sahabatnya amr bin ubaid harus memisahkan diri (I’tizal) dari majlis gurunya, hasan al-basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min atau kafir, tetapi fasiq. Izutsu, dengan mengutip ibn hazm, menguraikan pandangan mu’tazilah sebagia berikut “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiqin . Ia bukan mu’min bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).[27]”Mengomentari pendapat tersebut izutsu menjelaskan bahwa sikap mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mu’min pelaku dosa besar dan mu’min lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.[28]
Menurut pandangan mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya dengan pengakuan dan pembenaran. Bagi pelaku dosa besar, tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada tuhan dan rasulnya, dan masih mengerjakan kebaikan. Hanya saja, kalau meninggal dan belum bertobat, maka ia akan dimasukkan kedalam neraka dan kekal didalamnya. Orang fasikpun akan dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir. Jikalau ada pertanyaan “mengapa orang fasik tidak dimasukkan kedalam surga yang lebih rendah dibandingkan orang mu’min sejati?”. Tampaknya disini mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak meremehkan dosa, baik besar maupun yang kecil.
     Al- Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran (Al-amr bi Al-ma’ruf wa An-nahy an-Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan mengajak pada kebajikan dan melarang pada kemunkaran.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mu’min dalam beramar ma’ruf nahy munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:

    ia mengetahui yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu adalah munkar
  ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy mun’kar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
    ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak membahayakan diri dan hartanya.[29]
Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an-munkar bukan monopoli Konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti al-ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena Mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifiknya, al-ma’ruf adalah apa yang diterima dan diakui Allah.[30] Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.[31]

Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab yang lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyirkan ajaran-ajarannya
 2.2.3   Kritik Terhadap Ajaran Mu’tazilah
Pada ajaran Mu’tazilah at-Tauhid dikatakan bahwasanya “Mereka menafikan/ meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu bermacam-macam, pasti Allah itu berbilang.” Sudah dijelaskan di Al-Qur’an bahwa Allah mempunyai sifat wajib yang sebanyak 20, yaitu wujud, qidam, baqa’, muqalafatililqawatisi, dsb. Jadi sangat jelas bahwa ajaran at-Tauhid ini menyimpang dengan esensi Al-Qur’an. Pada kasus ini, orang-orang Mu’tazilah salah menafsirkan sifat-sifat Allah. Sifat yang banyak tidak berarti Allah berbilang-bilang. Allah tetap Esa dengan segala sifat-sifatnya.
At-Tauhid juga mengajarkan bahwa “Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.” Ajaran ini juga tidak sesuai dengan Al-Qur’an, karena di Al-Qur’an dikatan barang orang-orang soleh akan berjumpa dengan Allah nanti di akhiat. Aliran Mu’tazilah juga tidak menyebutkan atas dasar apa ajaran ini dikeluarkan, jadi kefalidannya tidak jelas.
Ajaran ketiga aliran Mu’tazilah adalah janji dan ancaman yang di dalamnya tertulis bahwa “di akhirat tidak akan ada Syafaat karena syafaat berlawanan dengan al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman).” Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa siapa yang selalu berolawat atas Nabi maka di hari akhir akan mendapat Syafaatnya. Memang Syafaat ini hanya untuk orang-orang yang taat, jadi orang-orang yang berbuat dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat sudah dipastiakan tidak akan mendapat Syafaat di hari akhir. Sesuai eseni Al-Qur’an, Syafaat ada di hari akhir, jadi ekali lagi ajaran ini menyimpang dari dasar-dasar agama Islam.
Selanjutnya yaitu ajaran tentang tempat diantara dua tempat, tempat bagi orang Fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, nanti akan ditempatkan disuatu tempat yang berada diantara surga dan neraka. Ajaran ini sangat membingungkan, karena Mu’tazilah sendiri tidak mendiskribsikan bagaimana keadaan tempat tersebut. Bisa tempat yang setengah surga dan setengah neraka, atau mungkin bisa juga tempat yang setengah panas dan setengah indah. Kalau dipikir secara logika sangat tidak rasional. Tidak adil juga jika orang yang berbuat dosa besar tidak disiksa dalam neraka, padahal dikatakan dalam Al-Qur’an, jangankan dosa besar, dosa sekecil zahro saja akan dipertangjawabkan yaitu berupa siksa api neraga. Lalu bagaimana bisa orang yang berbuat dosa besar tidak masuk dalam neraka.
Dalam ajaran amar ma’ruf nahi munkar, Mu’tazilah mengatakan bahwa  “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan atau diluruskan”. Tercatat oleh sejarah bahwa kaum Mu’tazilah pernah membunuh ulama-ulama Islam diantaranya ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi, seorang ulama pengganti Imam Syafi’i dalam suatu peristiwa “Qur’an Makhluk”. Pada ajaran ini kaum Mu’tazilah menggunakan dasar al-Hadist yang artinya “siapa diantaramu yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu”. Nampaknya salah penafsiran terjadi kembali pada ajaran ini. Hadist mengatakan “rubahlah dengan tanganmu sendiri” maksudnya tidak dengan kekerasan tangan (membunuh) seperti yang dilakukan kaum Mu’tazilah tersebut. Namun bagaimana kita bertindak untuk membenarkan mereka yang salah dengan halus dan sopan seperti cara Rasul menyebarkan ajaran Islam. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan amar ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya ma’ruf (kebaikan) bagi kaum Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan ma’ruf (kebaikan) yang sesuai dengan Qur’an.
2.2.4    Kesimpulan
Aliran Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi banyak memakai akal dan logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah baru yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya Khowarij dan Syi’ah, kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya.  Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu, mereka lebih mendahulukan akal.
 Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran Mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan “Aqlaniyah”, Modernisasi pemikiran. “Westernasi” dan “Sekulerisme” serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis Kristen dan Yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya




2.3 MURJI’AH
2.3.1    Pendahuluan
Alhamdulillahi puji syukur hanya milik Allah swt Rabb semesta alam, pada risalah singkat ini, akan di paparkan secara global tentang Murji’ah, dari pengertiannya kemudian Sejarah Munculnya, Para Tokoh Penggagas Pemikiran ini, Pemikiran-pemikiran nyeleneh mereka Dalam Memaknai Iman, dalil-dalil Yang Digunakan Oleh Kaum Murji’ah Untuk Membenarkan Pemikiran Mereka Serta Bantahan-Bantahanya.
Dalam kubu mereka sendiri terpecah menjadi beberapa sekte, masing-masing berbeda dalam mengartikan makna irja’ di antaranya adalah: Murji’ah Sunnah, Murji’ah Qadariyyah, Murji’ah khawarij dan Murji’ah Kholisoh. dalam pembahasan kali ini penyusun tidak akan membahas satu persatu, namun hanya akan menerangkan bahayanya pemikiran ini bagi Aqidah Salimah yang perlu dijaga agar tidak tercampuri oleh pemikiran sesat, Murji’ahlah salah satunya semoga bermanfaat.

2.3.2    Pengertian Murji’ah
Secara Bahasa : Berasal dari kata الإرجاء yang berarti dua makna:
Pertama, ta’khir (mengakhirkan Atau menangguhkan), seperti dalam perkataan seseorang, Arja’tu Kadza, maksudnya adalah, ia ingin :
Umengakhirkan sesuatu. Di sebutkan dalam firman Allah
قَالُوا أَرْجِهْ وَأَخَاهُ
Artinya:” Pemuka-pemuka itu menjawab: “Beritangguhlah dia dan saudaranya” (Qs. Al A’raf :111). Maksudnya ialah pemuka-pemuka fir’aun ingin bengakhirkannya.
Kedua, I’tha’u Ar-rajaa’ (memberikan harapan) , seperti dalam perkataan seseorang, Arjaitu fulanan, artimya adalah ia ingin memberikan harapan :
Ukepada si fulan. Di sebutkan dalam firman Allah
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:” Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. At Taubah:102)
Secara Istilah : Di ambil dari arti bahasanya yaitu mengakhirkan atau meremehkan. Yang dimaksud adalah mengakhirkan amal yang berkenaan dengan keimanan dan menempatkanya pada kedudukan yang kedua dari iman dengan kata lain tidak menganggap amal bagian dari iman sebagaimana perkataan orang-orang yang mengeklaim bahwa maksiat tidak berpengaruh apapun pada keimanan seseorang begitupula ketaatan tidak bermanfaat apapun bila yang mengerjakannya adalah seseorang yang kafir.
tDi riwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Ibnu Abbas  berkata: Bersabda rRasulullah  “Dua golongan dari bani adam yang bukan termasuk bagian dari islam, Murji’ah dan qodariyyah”

2.3.3    Sejarah Munculnya Dan Para Tokoh Penggagas Pemikiran Murji’ah
Mengenai Sejarah Munculnya Dan Para Tokoh Penggagas Pemikiran Murji’ah ada perbedaan pendapat, sebagian orang berpendapat, yang pertama kali mengenalkan faham irja’ adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib atau yang terkenal bernama Ibnu Hanafiyyah. Ia telah menulis sejumlah kitab yang di sebarluaskan ke berbagai penjuru. Menurutnya, orang yang melakukan dosa besar tidak di hukumi sebagai orang kafir, sebab ketaatan seseorang untuk melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi laranga-Nya bukan termasuk dasar iman. Oleh karena itu, Hilangnya ketaatan seseorang tidak akan menyebabkan hilangnya keimanannya.
Sebagian yang lain berpendapat, yang pertama kali mengenalkan faham irja’ adalah Abu Salat As-Saman (wafat tahun 152 H)
Di riwayatkan pula dari Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban, Dari Sulaiman bin Harb, Ia berkata:”Aku pernah menanyakan kepada Abu Wa’il tentang paham Murji’ah…”. Sedangkan Abu Wai’il wafat pada tahun 99 H. pada riwayat yang lain 82 H.
Dari sini, dapat di simpulkan bahwa faham ini sudah ada sejak abad pertama hijriyah.
Sampai kemudian datanglah Al Jahm bin Shofwan yang wafat pada tahun 128 H. Ia berkata:”bahwasanya iman adalah ma’rifah (cukup mengetahui dan beriman kepada Allah swt saja tanpa ada tuntutan lain). Masih banyak lagi tokoh-tokoh mereka yang lain,

2.3.4    Pemikiran Pengikut Faham Murji’ah Dalam Memaknai Iman
Secara garis besar Aqidah Murji’ah dapat di kelompokan sebagai berikut :
1. Pengertian iman adalah hanya meyakini atau mengetahui dalam hati atau ucapan saja.
2. Mereka berkeyakinan bahwa amal bukan termasuk dalam hakikat iman dan tidak termasuk bagian dari iman.
3. Iman tidak dapat bertambah dan berkurang, karena keyakinan pada sesuatu tidak termasuk didalamnya penambahan atau pengurangan.
4. Dari aqidah murji’ah jahmiyah adalah meyakini bahwa yang di maksud kufur kepada Allah adalah dikarenakan ketidak tahuan manusia kepada  saja.
U sedangkan iman adalah cukup mengetahui Allah UAllah
5. Para pengikut Murji’ah juga mengartikan kata irja’ dengan pengertian menunda hukuman bagi orang yang berbuat dosa besar hingga hari kiamat dan menyerahkannya kepada Allah swt. Dengan kata lain, orang yang berbuat dosa besar tidak akan di hukum di dunia, tetapi di akhirat nanti.

2.3.5    Dalil-Dalil Yang Digunakan Oleh Kaum Murji’ah Untuk Membenarkan
Pemikiran Mereka Serta Bantahan-Bantahanya
Pengikut Murji’ah berusaha mencari dalil-dalil yang yang dapat membantu dalam membenarkan pemikiran mereka dengan menggunakan nash-nash yang syubhat dan telah keluar dari tujuan nash sebenarnya, mereka menggunakan Al qur’an dan As sunnah An nabawiyah serta berdalih bahwa dari sekian banyak dalil-dalil yang di gunakan, semuanya berkaitan serta membenarkan pemikiran-pemikiran mereka, yang hakekatnya penuh dengan kesesatan.
 :
UPertama, Dari Al qur’anul Karim, mereka berdalil melalui perkataan Allah
1. Qs. An Nisa’: 48
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Artinya:” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”
2. Qs. Az Zumar: 53
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَالْغَفُورالرَّحِيمُُ
Artinya:” Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
3. Berdasarkan yang dikemukakan oleh Al jahmiyah didalam berbagai nash yang menjadikan keimanan atau kekafiran bertempat pada hati sebagaimana  Qs. Al Mujadilah: 22
Ufirman Allah
أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ
Artinya:” Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga”
4. Qs. An Nahl:106
إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
Artinya:” kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”
Kedua, Dari As sunnah An nabawiyah, mereka berdalil :
قول الرسول
:(من مات يشرك با الله شيئا دخل النار) قال إبن مسعود(من مات لايشرك با الله شيئا دخل الجنة)
rArtinya: Sabda Rasul  “Barang siapa yang mati dalam keadaan Umenyekutukan Allah  dengan sesuatu maka ia masuk neraka” Berkata Ibnu UMas’ud ra”Barang siapa yang mati tidak menyekutukan Allah  dengan sesuatu apapun maka ia masuk jannah”
وقوله فيما يرويه عن ربه أنه قال:(يا إبن آدم إنك لو أتيتني بقراب الأرض خطايا ثم لقيتني لا تشرك بي شيعا لأتيتك بقرابهامغفرة)
Artinya: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman ” Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.”
وقوله (اللهم ثبت قلب علي دينك)
rArtinya: Sabdanya  ”Ya Allah tetapkanlah hatiku atas dien-Mu”
وقوله (التقوي ها هنا,ويشير إلي صدره ثلاث مرات)
 ” Taqwa itu ada disini (beliau sambil menunjuk dadanya 3 kali).”
rArtinya: Sabdanya 
Demikian dalil-dalil yang digunakan oleh kaum Murji’ah yang mengesampingkan amal dari hakikat keimanan, pemahaman tersebut tidak bisa di benarkan karena hal itu berarti meremehkan amalan-amalan dhohir (yang nampak) dengan amalan-amalan hati, maka menurut mereka beriman dalam hati merupakan pedoman dasar dalam keimanan. Padahal bila di tinjau lebih lanjut bahwa dampak dari suatu keyakinan yang tertancap dalam hati adalah dengan mengamalkanya melalui seluruh anggota badan, sedangkan dalil-dalil di atas secara terang-terangan menunjukan bahwa iman tidak cukup hanya yakin dalam hati saja, namun suatu keimanan tidak bisa nampak pada seseorang manakala ia tidak mengamalkannya dengan seluruh anggota badannya, hal ini menunjukan akan urgennya amal dalam hakikat keimanan, bagi siapa saja yang menolak ideologi ini, maka mereka akan meremehkan suatu hukum sampai pada masalah kefajiran orang-orang yang sudah tidak di ragukan lagi akan kefaajirannya.
Bahkan mereka tidak mengkafirkan seseorang meskipun ia telah mengerjakan kekufuran secara terang-terangan, walhasil selama di dalam hatinya masih mempercayai syariat islam, walau tidak mengamalkannya, bahkan justru mengerjakan amalan-amalan kekafiran maka ia tidak kafir.
Bukti lain dari kesyubhatan aqidah mereka adalah dengan berhukum bahwa barang siapa yang mati sedang ia bertaubat dengan mengucapkan syahadat sebelum matinya, entah ia bermaksiat maupun tidak, maka ia akan mati dalam keadaan bertauhid.
Begitu pula dengan berpegang pada sabda Rosulullah saw:”Taqwa berada di sini (hati)” mereka mengatakan bahwa keimanan dan kekufuran keduanya bersumber dari hati. Makna taqwa yang mereka definisikan apabila tidak di barengi dengan amalan seluruh anggota badan maka bukan taqwa yang sebenarnya .Wallahu A’lam

2.3.6    Daftar Pustaka
1. Al Qur’anul Karim
2. Firaq Muashirah, Ghalib Bin Aly Iwaji, Juz 2
3. Syarah Aqidah Thahawiyyah
4. Ensiklopedia, Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, Dan Gerakan Islam, Dr. Abdullah Mun’im Al-Hafni
5. Syarh Ushul I’tiqad Ahlu sunnah Wal Jama’ah, Al Hasan bin Manshur At Thobari, Juz 1




2.4     KHAWARIJ
2.4.1    Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37 H / 657 M).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah.
Kemudian hadits‑hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dengan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob). Secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tentang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.

2.4.2   Awal Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij

Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”.
Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah bersabda:
“Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.” (HR. Bukhari Muslim)
Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya, namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikutnya:
“Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya.” (HR. al-Ajurri)
Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut. 
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)

2.4.3   Ajaran-ajaran pokok golongan khawarij:
·           Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.
·           Kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara AisyahThalhah, dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir.
·           Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.

2.4.4   Tokoh-tokoh utama Khawarij
·           Urwah bin Hudair
·           Mustarid bin Sa'ad
·           Hausarah al-Asadi
·           Quraib bin Maruah
·           Nafi' bin al-Azraq
·           'Abdullah bin Basyir

2.4.5   Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte
Akibat perbedaan pendapat di antara tokoh-tokohnya, Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte, antara lain:
·           Sekte Muhakkimah, yang merupakan sekte pertama, yakni golongan yang memisahkan diri dari 'Ali bin Abi Thalib.
·           Sekte Azariqoh yang lebih radikal, sebab orang yang tidak sepaham dengan mereka dibunuh.
·           Sekte Najdat yang merupakan pecahan dari sekte Azariqoh.
·           Sekte al-Ajaridah yang dipimpin 'Abd Karim bin Ajrad, yang dalam perkembangannya terpecah menjadi beberapa kelompok kecil seperti Syu'aibiyyahHamziyyahHazimiyyahMaimuniyyah, dll.

2.4.6   Sifat‑sifat Khawarij

1. Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.

2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.

3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebutquro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada apa-apanya.
“Akan keluar satu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, dimana bacaan kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bacaan mereka, demikian pula sholat kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sholat mereka, juga puasa kalian tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan puasa mereka.”(HR. Muslim)

4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.

5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.

6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.

7. Fasih dalam berbahasa.
Telah terkenal kefasihan mereka dalam berbicara dan berbahasa, sehingga berkata Ibnu Ziyad:Sungguh ucapan mereka lebih cepat sampai ke hati-hati manusia dari pada rambatan api ke batang kayu






2.4.7   Fenomena Khawarij

Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”


2.4.8   Kedudukan Khawarij

Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.


2.4.9   Sikap terhadap Khawarij


Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”


Referensi
Ayatullah Al-Uzhma Sistani,Tokoh-Tokoh Syi’ah, http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/index.htm, diakses 21 oktober 2013, jam 15:40 wib.
Irfan Fauzan,Pokok-Pokok Penyimpangan Syi’ah, http://www.islampos.com/asal-usul-syiah-pokok-pokok-penyimpangannya-40748/ diakses 21 oktober 2013, jam 15:45 wib.
Jimmy Wales,Syi’ah, http://id.wikipedia.org/wiki/Syi'ah diakses 21 oktober 2013 , jam 15:48 wib.
Syafieh Yanti,Pengertian Mutazilah,  http://syafieh.blogspot.com/2013/03/ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html diakses 21-oktober-2013 , di akses 21 oktober 2013 , jam 15.51 wib.
Bang Fata, Murjiah, http://sevensweet.wordpress.com/2010/04/29/murjiah/ diakses 21 oktober 2013, jam 15:54 wib.
Jimmy Wales, Khawarij wikipedia,http://id.wikipedia.org/wiki/Khawarij, diakses 21 oktober 2013, jam 15:57 wib.
Eramuslim media islam rujukan, Khawarij ,http://www.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/khawarij-sejarah-perkembangan-dan-prinsipi-prinsipnya.htm, diakses 21 oktober 2013, jam 16:00.

Dapatkan Artikel Terbaru Lewat email!

Follow!

Tag : Makalah
0 Komentar untuk "Makalah Syiah Mu'tazilah Murji'ah Khawarij "

Back To Top